Our Chat Room

Saturday, May 26, 2012

Reformasi Ulang Pendidikan Islam


Selasa, 20 Maret 2012

Oleh: Imam Nawawi

DI ZAMAN Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), para pemuda mampu memegang posisi strategis untuk penguatan dan kemajuan dakwah Islam. Di antara mereka ada yang ahli dalam bidang tulis-menulis, strategi perang, juga ahli dalam berdakwah. Zaid bin Tsabit adalah sosok sekretaris muda yang expert. Kemudian Usamah bin Zaid pernah memimpin pasukan militer di usianya yang baru 18 tahun.

Termasuk Mush’ab bin Umair yang mampu merangkul pendudk Yatsrib untuk menerima Islam beberapa tahun sebelum masa hijrah tiba.

Fakta sejarah itu kini terkesan seperti dongeng. Sebab pemuda hari ini rasanya tidak sedikitpun menunjukkan adanya satu kemiripan dengan apa yang terjadi pada pemuda di zaman Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) atau pun di zaman masa Peradaban Islam memimpin dunia. Kala Islam menguasai peradaban dunia pemuda-pemuda Muslim tampil brilian di berbagai bidang.

Di bidang kedokteran ada Ibn Sina yang menguasai ilmu kedokteran di usianya yang baru 18 tahun dengan karya tulisnya yang tidak kurang dari 450 judul. Kemudian Fakhrudin Al-Razi, sosok ilmuwan Muslim yang tak pernah berhenti belajar kecuali dalam dua kesempatan; ketika menikah dan ketika ayahnya meninggal dunia. Al-Razi menulis tidak kurang dari 120 judul buku dari berbagai disiplin ilmu. Demikian pula dengan Imam Syafi’i, Imam Madzhab yang hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun.

Konstruk Pendidikan Islam

Menagapa pemuda di kala itu begitu cemerlang, sementara hari ini pemuda nampaknya lebih cenderung pragmatis dan hedonis?

Harus diakui dan diyakini bahwa kepeloporan pemuda zaman itu dengan ragam prestasinya tidak lepas dari keyakinan, keakraban, kontinuitas mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur’an dan orang-orang sholeh. Interaksi yang dilakukan secara tekun dan sungguh-sungguh itu menjadikan mereka senantiasa terinspirasi untuk menemukan satu jawaban, solusi atas problematika yang dihadapi umat. Semakin muncul masalah semakin kreatif mereka belajar dan berpikir untuk menemukan solusi.

Bahkan di antaranya ada yang pemikirannya melintasi zaman dan usianya sendiri.
Imam Syafi’i adalah sosok ilmuwan yang berhasil mengamankan studi Islam (Ushufl Fiqh) dari kerancuan pemikiran dengan kitab Al-Risalah-nya. Konstruk ilmu ushul fiqh yang dirancang oleh pemuda yang ketika kecil menulis pelajaran di tulang unta dan pelepah daun kurma itu menjadi benteng yang sangat kuat terhadap otensitas epistemologi Islam, sehingga gempuran orientalisme yang muncul berabad-abad setelah wafatnya hingga hari ini tak sedikit pun mampu menembusnya.

Semua itu tidak lain karena interaksi mereka dengan al-Qur’an yang sedemikian intens. Umumnya ulama zaman itu telah menghafal al-Qur’an sejak usia anak-anak. Kemudian mereka meyakini sepenuh hati isi al-Qur’an yang dibuktikannya dengan rasa cinta membacanya. Imam Syafi’i ketika Ramadhan mampu menghatamkan al-Qur’an sebanyak 60 kali, yang semua dibaca justru ketika beliau sedang sholat.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dasar yang menjadi pemicu dan pemacu lahirnya generasi muda yang sangat expert di berbagai bidang itu tidak lain adalah karena konstruk pendidikan Islam yang berdasar dan beroirientasi hanya kepada al-Qur’an dan sunnah.

Model Pendidikan Islam

Tidak ada yang keliru sebenarnya dengan apa yang telah dijalankan selama ini dari beragam model dan bentuk pendidikan Islam. Semua bertujuan ingin mencetak generasi rabbani. Namun adalah satu langkah yang bijaksana jika kita kembali menengok sejarah sendiri untuk kemudian menata ulang masa depan pendidikan Islam tanah air.

Satu hal pokok yang mesti menjadi perhatian dan prioritas pendidikan Islam hari ini adalah terlaksananya pendidikan Islam yang berbasis dan berorientasi kepada al-Qur’an semata. Dengan cara seperti itu maka peserta didik dan pendidik sekaligus akan tertantang untuk menemukan solusi kunci dari problematika kontemporer.

Al-Qur’an pun tidak akan lagi hanya dijadikan sebagai bahan bacaan semata. Tetapi lebih jauh akan menjadi sumber inspirasi yang akan mengundang lahirnya ide-ide kreatif, solutif, dan fundamental guna memberikan satu tawaran alternatif berupa perbaikan kondisi bangsa dan negara. Dan, wacana akan hal tersebut sejatinya telah dipaparkan secara gamblang dalam sejarah peradaban Islam.

Sekarang bergantung kepada umat Islam sendiri. Apakah ingin tetap bertahan dengan model pendidikan yang selama ini telah berjalan. Atau ingin benar-benar menerapkan satu konsep pendidikan Islam ideal sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) yang dibuktikan oleh generasi gemilang pada tujuh abad pertama Islam jaya.

Solusi Problem Pemuda

Pendidikan Islam sudah seharusnya menemukan jati dirinya. Sebuah pendidikan yang mampu mempersiapkan hadirnya generasi unggul yang siap melanjutkan estafet perjuangan menegakkan kebenaran.

Jika kita cermati secara seksama, kondisi umum pemuda hari ini yang cenderung pragmatis-hedonis tidak lain dan tidak bukan karena jarak yang sangat jauh antara jiwa, pikiran dan hati mereka terhadap al-Qur’an yang mengajarkan keluhuran akhlak dan budi. Hal itu menjadikan mereka asing dengan masjid, kebaikan, dan tentu dengan ilmu.

Apa yang ada pada mayoritas pemuda hari ini tidak lebih dari hanya sebuah skill teknis semata.

Mereka masih jauh dari budaya berpikir dan berkarya secara hakiki. Sekolah tidak lain hanya menjadi tempat pelarian sementara untuk menutupi kemalasan mereka dalam hidup. Hal ini bisa dibuktikan dengan maraknya pemuda dan pelajar yang terjerat kasus narkoba, pergaulan bebas, dan beragam bentuk kriminalitas lainnya.

Reformasi pendidikan Islam dengan kembali menjadikan al-Qur’an sebagai basis dan orientasi pendidikan tanah air dipastikan akan memberikan satu jawaban konkrit atas krisis yang melanda negeri ini. Logikanya sederhana, jika di masa lalu bisa diwujudkan mengapa sekarang tidak!*

Penulis adalah Sekretaris Inisiasi Hidayatullah


Red: Cholis Akbar


No comments:

Post a Comment